Kamis, 19 Juni 2014

sayyidina abu bakar wa sayyidina umar

Biografi sahabat Nabi Abu Bakar Assidik

A. ASAL-USUL DAN GAMBARAN FISIK ABU BAKAR SERTA KEISLAMANNYA
1. Nama, garis keturunan, julukan, dan kelahiran Abu BakarNama lengkapnya adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib al-Qurasyi at-Taimi, yang lebih dikenal dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq bin Abu Quhafah.
Dia dijuluki Atiq karena wajahnya yang tampan dan nasabnya yang baik. Abu Bakar memang berasal dari garis keturunan yang bersih dari cela.
Pada suatu kesempatan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam sedang duduk bersama beberapa shahabat, tiba-tiba datang Abu Bakar. Maka Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, “Siapa yang suka melihat ‘Atiq (orang yang terbebas) dari api neraka, silakan melihat Abu Bakar”. Maka julukan itupun menempel pada diri Abu Bakar dan dia terkenal dengan sebutan itu.
2. Sifat dan gambaran fisik Abu BakarAbu Bakar dilahirkan dua tahun enam bulan setelah peristiwa penyerangan Ka’bah oleh tentara gajah. Beliau berkulit putih, berperawakan kurus, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggang sehingga kainnya selalu turun dari pinggangnya, wajahnya tirus, matanya cekung, berkening lebar, dan selalu mewarnai jenggotnya dengan inai maupun katam (sejenis tumbuhan yang digunakan untuk menghitamkan rambut).
3. Orang tua Abu Bakar dan keislaman merekaAbu Bakar tumbuh di bawah naungan ayahnya Abu Quhafah yang masuk Islam pada peristiwa Fathu Makkah dan ibunya Ummul Khair, Salma binti Sakhr bin Amir, sepupu Abu Quhafah, yang juga masuk Islam dan menjadi salah satu shahabat RasulullahShallallahu Alahi wa Sallam bersama sang putra.
4. Karakter Abu Bakar dan Kedudukannya di kalangan bangsa QuraisyMasa mudah Abu Bakar tidak ternodai oleh keburukan dan perilaku negatif kaum Jahiliyah, karena dia memegang teguh sifat-sifat luhur bangsa Arab. Abu Bakar dikenal sebagai pribadi yang berakhlak mulia, sosok yang menyenangkan, mudah membantu sesama, jujur dalam setiap perkataannya, baik pergaulannya, bahkan mengharamkan atas dirinya khamar sejak masa jahiliyah.
Dia sangat mengerti garis keturunan bangsa Arab, terutama garis keturunan Quraisy, termasuk cerita-cerita mereka, yang baik maupun yang buruk, dan menguasai ilmu ta’wil mimpi. Lebih dari itu dia juga merupakan seorang pedagang berpengalaman dan terlatih. Semua itu membuat Abu Bakar disukai dan sangat dipercaya oleh kaumnya serta menempati posisi yang terhormat. Maka tidak heran jika kemudian Abu Bakar menjelma sebagai salah satu pemuka kaumnya pada masa jahiliyah dan menjadi salah satu elemen penting dalam permusyawaratan mereka. Bahkan dia merupakan satu dari sepuluh tokoh Quraisy yang berlanjut kemuliaannya sejak masa jahiliyah hingga masa islam. Disamping itu, Abu Bakar pun dipercaya sebagai kordinator dalam urusandiyat, jika dia telah memutuskan sesuatu dalam urusan itu, yang lain akan ikut dan segera menyetujuinya.
5. Keislaman Abu BakarTelah menjadi kebiasaan bagi Abu Bakar untuk duduk berlama-lama bersama tiga orang shalih yang merupakan penganut Hanafiyah (ajaran agama yang lurus sebagaimana diwariskan oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam), yaitu Qus bin Sa’idah Al-Iyadi, Zaid bin Amr bin Nufail, dan Waraqah bin Naufal. Dia amat suka menyimak kata-kata mereka dan mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Namun, ketiga sosok tersebut hanya membatasi keyakinan tersebut untuk diri mereka sendiri. Mereka tidak melakukan dakwah secara terorganisir dan tidak membawa suatu agama yang mengecam penyelewengan akidah kaum Quraisy dan kebiasaan buruk mereka. Ketika ketiganya semakin tua, sehingga bisa saja dalam waktu dekat mereka akan menemui ajalnya, Abu Bakar berpikir untuk mencari sosok lain yang dianggap bisa menggantikan posisi mereka.
Lantas terpikir olehnya sosok Muhammad bin Abdullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Sosok yang masih mudah, memiliki asal-usul dan garis keturunan yang baik, kedudukannya di tengah-tengah kaumnya laksana mutiara yang berkilauan. Saat itu Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam dikenal sebagai sosok yang menolak menyembah berhala. Hari-harinya tidak ternodai oleh sifat-sifat negatif kehidupan jahiliyah. Bahkan belakangan dia lebih banyak menyendiri di gua Hira untuk melakukan perenungan tentang kehidupan. Sehingga dia sampai pada keyakinan adanya Sang Pencipta yang harus diagungkan dengan tanpa mengagungkan selainnya. Memang dia tidak menghina berhala-berhala yang menjadi sesembahan kaumnya, tapi dia pun tidak pernah memujinya apalagi bersujud padanya seperti yang biasa dilakukan oleh kaumnya. Dia telah memisahkan diri dari kaumnya untuk mencari kebenaran yang haqiqi.
Dapat dikatakan bahwa Abu Bakar merupakan teman sebaya Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam karena usia mereka tidak terpaut jauh. Abu Bakar melihat ada yang berbeda pada sosok yang satu ini. Menurutnya, Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam  pantas menjadi panutan dan layak dianggap sebagai teladan yang terpercaya. Abu Bakar mencoba menghidupkan kembali memorinya untuk mengingat-ingat berbagai kejadian penting yang senantiasa menjadi buah bibir di kalangan kaumnya di seantero Mekah. Ingatannya mulai tertuju pada suatu peristiwa luar biasa yang terjadi beberapa tahun lalu, tepatnya ketika kaum Quraisy menyelesaikan proyek renovasi Ka’bah. Waktu itu, setiap orang bersikeras mendapatkan kehormatan untuk mengembalikan Hajar Aswad ke posisi semula.
Terjadilah keributan diantara mereka, hingga hampir menyulut terjadinya perang seperti perang Fijar (sebuah peperangan hebat yang melibatkan suku Quraisy). Pada saat pertikaian semakin sengit, salah seorang dari mereka mengusulkan untuk menyerahkan keputusan persoalan tersebut pada seorang yang paling pertama mendatangi tempat itu. Saat itu yang pertama datang adalah Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam. Lantas secara bersamaan mereka berteriak, “Ini dia Al-Amin (sang terpercaya) Muhammad…. dialah hakim terbaik!”
Lantas Abu Bakar menyoroti berhala-berhala sesembahan kaum jahiliyah dan keanekaragaman peribadatan mereka. Ada yang menyembah berhala, ada juga yang menyembah matahari, bintang-bintang, malaikat, jin, bahkan ada juga diantara mereka yang atheis.
Ajaran Hanafiyah pun tenggelam di balik gelombang kesyirikan, membuat Abu Bakar bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa tidak datang seseorang yang dapat menyelesaikan pertikaian kaum Quraisy dan menyelamatkan mereka dari pertumpahan darah!”
Abu Bakar pun berusaha mencari tahu lebih banyak tentang sosok “Al-Amin” yang tak lain merupakan teman dan sahabatnya sendiri. Untuk itu dia sengaja ikut dengannya dalam perniagaan ke negeri Syam, Sehingga dia pun sempat mendengar ucapan Rahib Buhaira tentang adanya tanda-tanda kenabian pada diri shahabatnya tersebut. Abu Bakar pun semakin mengagumi sosok Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam. Dia melihat pada diri shahabatnya itu potesi sebagai penyelamat dan pemberi solusi atas problem keyakinan yang dihadapi kaumnya.
Ditambah lagi dengan adanya kejadian yang dialaminya pada saat berniaga ke Yaman beberapa saat sebelum Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagi Nabi. Abu Bakar menuturkan, “Waktu itu saya singgah ditempat seorang Syaikh yang alim dari Azd. Dia telah membaca banyak kitab, menguasai banyak ilmu. Pada saat melihatku dia berkata, Aku memperoleh informasi yang akurat bahwa seorang nabi akan diutus ditanah haram (Mekah). Dia akan ditolong oleh seorang pemuda dan satu orang dewasa. Yang muda merupakan sosok yang suka menantang bahaya dan menolak berbagai bentuk kesengsaraan, sedangkan yang dewasa berkulit putih, berperawakan kurus, memiliki lalat diperutnya, dan memiliki di paha sebelah kiri.”
Lantas dia memintaku untuk menyingkap bagian perutku agar dia dapat melihatnya. Saya pun melakukan apa yang diminta, hingga dia melihat adanya tahi lalat hitan diatas pusarku. Dia pun berseru, “Kamulah orangnya, demi tuhan Ka’bah! saya ingin memberitahukan sesuatu kepadamu, camkanlah!”
Apa itu?” tanya Abu Bakar. “Janganlah engkau condong pada hawa nafsu, berpegang tegulah pada jalan yang utama dan pertengahan, dan takutlah pada Allah dalam segala sesuatu yang telah dianuhgerahkan-Nya padamu”.
Sekembalinya Abu Bakar ke Makah, dia menanti saat diutusnya sang Nabi yang ditunggu-tunggu. Maka begitu dia memperoleh informasi bahwa sahabat karibnya Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam memperoleh wahyu dan diberi amanah untuk mengemban risalah dari langit, dia pun bergegas menemuinya dan bertanya, “Wahai Muhammad, benarkah apa yang diberitakan oleh masyarakat Quraisy bahwa engkau telah meninggalkan tuhan-tuhan kami, merendahkan akal kami, dan mengkafirkan para orang tua kami?”
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menjawab, “Benar. Sesungguhnya saya adalah utusan Allah dan Nabi-Nya. Dia mengutusku untuk menyampaikan risalah-Nya. Saya pun sungguh-sungguh mengajak engkau ke jalan Allah. Demi Allah, ini adalah kebenaran yang hakiki. Saya mengajakmu wahai Abu Bakar untuk menyembah Allah semata yang tidak ada sekutu baginya. Maka janganlah engkau sembah sesuatu pun selain Allah. Saya pun mengajakmu untuk berjanji untuk senantiasa taat kepada-Nya.”Lalu Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam membacakan beberapa ayat Al-Qur’an. Tanpa pikir panjang, Abu Bakar langsung menerima ajakan masuk Islam dan segera menyatakan penolokannya terhadap penyembahan berhala. Dia segera menanggalkan segala bentuk kemusyrikan dan menegaskan kebenaran Islam. Dia pun pulang dalam kondisi telah menjadi seorang muslim yang membenarkan kenabian Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam .
Abu Bakar terhitung orang yang pertama kali masuk Islam. Dia sangat yakin akan benarnya kenabian Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam  dan dakwahnya. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menyatakan, Setiap saya mengajak seorang masuk Islam, selalu terbesit tanya dan keraguan dalam benaknya. Berbeda dengan Abu Bakar, dia tidak terpikir panjang untuk memenuhi ajakanku dan dia tidak ragu sedikitpun.”
6. Terkenal dengan julukan “Ash-Shiddiq”Setiap kali Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam mengabarkan sesuatu, Abu Bakar selalu menjadi orang yang paling pertama membenarkan dan mengimaninya. Karena dia begitu yakin bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya. Kondisi demikian membuat dia dijuluki Ash-Shiddiq (orang yang selalu membenarkan). Dia semakin terkenal dengan julukan itu setelah kejadian Isra’-Mi’raj. Waktu itu sekelompok orang musyrik mendatanginya dan mempertanyakan,”Apa pendapatmu tentang cerita temanmu itu? Dia mengaku telah diperjalankan tadi malam ke Baitul Maqdis!” Abu Bakar balik bertanya, “Dia mengatakan itu?” Mereka serempak mengiyakan. Abu Bakar berkata, “Kalau begitu dia benar! Seandainya dia mengatakan hal yang lebih dari itu tentang kabar dari langit, saya pasti akan membenarkannya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang.”
karena itulah Abu Bakar dijuluki Ash-Shiddiq.
Baru saja bibir Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam selesai mengucapkan sesuatu, Abu Bakar langsung berkata, “Dia benar.” Orang lain boleh saja mencari tahu dulu, berpikir beberapa saat, atau bahkan meragukan. Tapi tidak demikian dengan Abu Bakar. Semboyannya sejak pertama kali menyatakan keislaman adalah, “Jika NabiShallallahu Alahi wa Sallam berkata, maka dia benar.”
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pun pernah menyiarkan julukan tersebut ditengah-tengah khalayak ramai, yaitu pada saat beliau menaiki gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar, dan Utsman, waktu itu gunung Uhud bergetar. Maka Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam berkata, “Tenanglah wahai Uhud, diatasmu hanyalah seorang Nabi, seorang Shiddiq, dan dua orang syahid.”
Bersambung Insya Allah . . .



A.    ASAL-USUL DAN GAMBARAN FISIK UMAR SERTA KEISLAMANNYA
1. Nama, nasab, dan kelahiran Umar
Di serambi Mekah, dengan cuaca yang panas, anginnya yang menderu-deru, padang sahara yang luas, tiga belas tahun setelah peristiwa gajah, lahirlah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurzhu bin Razah bin Adi Al-Qurasyi.
Ayahnya Khaththab bin Nufail Al-Adawi adalah orang yang berwatak keras dan memiliki tabiat yang kuat. Sedang Ibunya bernamah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, sepupu dari Abu Jahal.
Umar tumbuh di bawah asuhan ayahnya sehingga dia mewarisi watak keras sang ayah yang tak kenal rasa takut, keras hati, tidak setengah-setengah dalam melakukan sesuatu.
2. Gambaran fisik dan sifat Umar serta kedudukannya dikalangan Quraisy
Umar adalah laki-laki berkulit coklat, kedua tangannya aktif sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan keduanya, memiliki sosok yang kuat, ukuran tubuh yang tinggi besar. Tinggi badannya jauh di atas rata-rata. Jika dia berada di kerumunan nampak seolah dia sedang menunggangi sesuatu yang lain berjalan kaki, Umar berkumis lebat, jalannya cepat, suaranya besar, dan pukulannya amatlah keras.
Kekuatan fisik dan kesatriannya amatlah prima, sampai-sampai dia sanggup naik ke atas kuda hanya dengan berpegang pada telinga kuda.
Umar merupakan salah satu orang terpandang dan pemuka kaum Quraisy. Dia sering dipercaya sebagai juru damai apabila terjadi peperangan antar sesama kaum Quraisy atau antara suku Quraisy dengan yang lain. Telah menjadi kebiasaan bangsa Arab, pada saat hendak berdamai masing-masing pihak yang bertikai mengutus seseorang sebagai juru damai. Masing-masing juru damai akan membanggakan pihaknya sampai akhirnya tercapai kesepakatan damai. Kaum Quraisy sangat menaruh kepercayaan pada Umar bin Khaththab untuk mewakili mereka sebagai juru damai.
Di samping itu, Umar memiliki jiwa yang bersih secerah langit Mekah, hati yang tulus tidak berbelok-belok laksana padang pasir yang luas, keteguhan hati yang kokoh laksana gunung, dan sifat yang mulia seterang bintang di langit.
3. Keislaman Umar
Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam mulai berdakwah mengajak semua orang yang beriman hanya kepada Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala, Umar memposisikan dirinya sebagai penentang dakwah Rasulullah tersebut.
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menyimpan harapan agar suatu saat Umar masuk Islam, melihat kekuatannya yang luar biasa dan kelebihannya dibandingkan orang-orang sebayanya. Maka Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Ya Allah perkuatlah Islam dengan salah satu dari orang yang lebih Engkau sukai: Umar bin Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam.” Dan ternyata yang lebih disukai oleh Allah dari mereka berdua adalah Umar bin Khaththab.
Dakwah pun semakin meningkat dan semakin meluas hinggah merubah pandangan Umar. Berikut ini adalah penuturan Umar sendiri bagaimana awal mula masuknya sinar Al-Qur’an ke dalam hatinya yang sebelumnya tertutup sangat rapat,
“Waktu itu saya keluar untuk merintangi Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Ternyata beliau telah mendahuluiku berjalan ke arah masjid. Saya pun membuntutinya. Lantas beliau membaca surat Al-Haqqah, membuatku takjub akan keindahan Al-Qur’an. Maka saya mengatakan, “Dia benar-benar penyair sebagaimana disebut-sebut kaum Quraisy.” Maka beliau membaca, “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) itu benar-benar wahyu (yang turun kepada) Rasal yang mulia, Dan ia (Al-Qur’an) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”(QS. Al-Haqqah [69]: 40-41). Lalu saya berkata, “Dia adalah seorang penyihir.” Beliau membaca, “Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. Ia (Al-Qur’an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam. Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya).”(QS. Al-Haqqah [69]: 42-47). Sampai akhir surat, Al-Qur’an pun mulai ,merasuki hatiku.”
Kemudian pada suatu hari Umar berpapasan dengan Ummu Abdullah binti Akhi Hatsmah yang sedang bersiap untuk hijrah ke negeri Habasyah. Umar bertanya padanya, “Apakah ini persiapan untuk berangkat wahai Ummu Abdullah?” Jawab Ummu Abdullah, “Ya. Demi Allah kami harus keluar dari negeri ini. Kalian telah menyakiti dan berbuat kasar terhadap kami, hingga Allah memberikan jalan keluar bagi kami.” Umar berkata, “Semoga Allah menyertai kalian.”
Peristiwa inilah yang menjadi peringatan kedua di dalam hari Umar. Hampir saja cahayanya meredup dan pengaruhnya melemah, namun dia bagaikan sumbu yang apinya dinyalakan oleh seorang perempuan yang amat marah, yang tak lain saudari sepersusuan Umar yang tumbuh besar bersama di lingkungan yang sama.
Selanjutnya pada suatu hari yang amat panas, Umar keluar dari rumahnya bergegas menuju rumah shahabat Al-Arqam, tempat Rasulullah biasanya berkumpul dengan para shahabatnya. Hari itu Umar berniat akan membunuh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Di tengah perjalanan dia berpapasan dengan Nu’aim bin Abdullah An-Nahham yang waktu itu telah masuk Islam namun menyembunyikan keislamannya karena khawatir akan diusir oleh kaumnya. Nu’aim lalu bertanya padanya, “Hendak kemanakah engkau wahai Umar?”
Umar menjawab, “saya mau menemui Muhammad, orang yang telah meninggalkan agamanya, mencerai-berai urusan kaum Quraisy, membuyarkan impian mereka, menghina agama mereka, dan mencaci tuhan-tuhan mereka. Saya akan membunuhnya.”
Nu’aim berkata padanya, “Engkau telah memperdaya dirimu sendiri wahai Umar. Apakah menurutmu Bani Abdi Manaf akan membiarkanmu hidup jika engkau membunuh Muhammad?”
Umar berkata, “Menurutku engkau telah berpaling dan telah meninggalkan agama lamamu!”
Nu’aim balas mengatakan, “Kenapa engkau tidak kembali saja ke keluargamu untuk menyelesaikan urusan mereka?”
Umar bertanya, “Siapakah keluargaku yang engkau maksud?”
Nu’aim menjawab, “Saudara iparmu yang juga sepupumu Sa’id bin Zaid bin Amr, dan saudarimu Fatimah binti Khaththab. Demi Allah, mereka telah masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad. Kenapa engkau tidak mengurus mereka saja!”
Umar pun langsung berbalik dan bergegas pergi ke rumah saudarinya Fatimah dan suaminya. Saat itu, keduanya sedang kedatangan Khabbad bin Art yang membawakan lembaran yang bertuliskan surat Thaha untuk dibacakan pada keduanya. Ketika mereka mendengar gerakan Umar, Khabbad langsung bersembunyi di kamar, sedangkan Fathimah langsung mengambil lembaran berisi surat Thaha dan menyembunyikannya di bawah pahanya. Sementara itu Umar sempat mendengar gumaman khabbad saat dia mendekati rumah mereka.
Ketika Umar menerobos masuk, dia langsung bertanya, “Surat apa yang baru saja saya dengar?”
Keduanya menjawab serempak, “Engkau tidak mendengar apa-apa.”
Umar menukas, “Tidak, demi Allah, aku mendengar kabar bahwa kalian berdua telah mengikuti agama Muhammad.” Tanpa pikir panjang Umar langsung menyergap saudara iparnya, Sa’id bin Zaid. Melihat itu Fatimah langsung bangun dan bergerak ke arah Umar berusaha melepaskan suaminya dari sergapan Umar. Tapi Umar langsung memukulnya hingga melukainya.
Mendapat perlakuan kasar dari Umar, keduanya lalu berkata, “Ya, kami telah masuk Islam dan telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan!”
Saat itulah, ucapan saudari dan iparnya itu menghujam ke dalam hati Umar saat dia sedang berada di puncak kemarahannya. Terkoyaklah penutup hatinya dan sikapnya langsung berubah menjadi lemah lembut. Dia pun melepaskan Sa’id bin Zaid dan menyesali tindakannya. Dia lalu memohon pada saudarinya, “Berikan padaku lembaran yang baru saja kalian baca itu agar aku dapat melihat apa yang dibawa oleh Muhammad.
Mendengar itu, fatimah segera menjawab, “Kami khawatir engkau akan merusaknya.”
Umar berkata, “Jangan takut.” Dia pun bersumapah dengan nama tuhan-tuhannya bahwa dia akan mengembalikan lembaran tersebut jika diizinkan untuk membaca isinya.”
Pada detik itu muncul harapan pada diri Fatimah terhadap keislamannya Umar. Dia pun langsung mengatakan pada Umar, “Wahai Saudaraku, engkau masih najis karena kemusyrikanmu, sedang lembaran itu hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang suci.”
Umar pun langsung bangun untuk membasuh dirinya. Setelah itu, barulah Fatimah menyerahkan lembaran tersebut padanya. Umar langsung membacanya, “Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah; melainkan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), diturunkan dari (Allah) yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi, (yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy. Milik-Nyalah apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi, apa yang ada di antara keduanya, dan apa yang ada di bawah tanah. Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia mengetahui rahasia yang telah tersembunyi. (Dialah) Allah, tidak ada tuhan selain Dia, yang mempunyai nama-nama yang baik.”(QS. Thaha [20]: 1-8). Dia membacanya dengan hati berdebar dan tubuh gemetar, dengan penuh kekhusyukan dan perlahan. Hingga dia sampai pada ayat, “Sungguh, aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakan shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha [20]: 14). Baru saja dia selesai membaca ayat tersebut, dia langsung berujar, “Alangkah indah dan mulianya ungkapan ini! Tunjukkan aku di mana Muhammad.”
Mendengar itu, Khabbad langsung keluar dari persembunyiannya. Dia langsung berkata pada Umar, “Wahai Umar, demi Allah, sesungguhnya aku berharap Allah mengkhususkan engkau dengan doa Nabi-Nya. Sungguh saya kemarin mendengar Rasulullah berkata. “Ya Allah, perkuatlah Islam dengan Abu Al-Hikam bin Hisyam atau dengan Umar bin Khaththab.” Allah pasti mengabulkan doanya wahai Umar.
Umar pun berkata padanya, “Kalau begitu, tunjukkan padaku dimana Muhammad wahai Khabbad agar aku bisa menemuinya dan mnyetakan keislamanku,”
Khabbad menjawab, “Beliau di sebuah rumah di Shafah bersama beberapa shahabatnya.”
Umar memungut pedangnya dan menyandangnya. Lalu dia bergegas menemui Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan para shahabatnya. Sesampainya disana Umar langsung menggedor pintu rumah. Mendengar itu, salah seorang shahabat Rasulullah segera bangun dan mengintip dari pintu. Nampaklah olehnya Umar sedang menyandang pedangnya. Dia segera menemui Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam melapor sambil ketakutan, “Wahai Rasulullah yang datang adalah Umar bin Khaththab sambil menyandang pedang!”
Hamzah bin Abdul Mutthalib berkata, “Izinkanlah dia masuk. Jika dia datang menginginkan kebaikan, akan kita berikan padanya kebaikan itu. Jika dia datang menginginkan keburukan, akan kita bunuh dia dengan pedangnya itu.”
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pun berkata, “Izinkan dia masuk.” Salah seorang dari mereka membukakan pintu dan mempersilahkan Umar masuk. Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam lalu bangkit untuk menemuinya di sebuah ruangan. Beliau langsung menarik baju Umar dengan kuat dan berkata, “Apa yang membuatmu datang kesini wahai Ibnu Khaththab? Demi Allah, menurutku engkau tidak akan berhenti sampai Allah menurunkan bencana atasmu!!”
Umar segera menjawab, “Wahai Rasulullah, aku datang padamu untuk menyatakan keimananku pada Allah dan rasul-Nya serta pada apa yang dibawanya dari sisi Allah.”
Serta merta Rasulullah meneriakkan takbir. Mendengar itu seisi rumah pun tahu bahwa Umar telah masuk Islam.
Akhirnya Umar bergabung bersama 40 orang yang telah lebih dahulu beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Peristiwa itu terjadi pada tahun keenam kenabian.
4.    Mendapat julukan Al-Faruq
Di hari saat Umar bin Khaththab menyatakan keislamannya, dia berdiri di hadapan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di jalan yang benar apabila kita mati ataupun hidup?”
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menjawab, “ Benar, demi Dzat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya kalian berada pada jalan yang benar apabila kalian mati ataupun hidup.”
Umar lalu berkata, “Kalau begitu kenapa kita harus bersembunyi? Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran Islam, kita harus keluar!”
Maka kami pun keluar dalam dua barisan. Hamzah berada dalam satu barisan, sementara Umar dalam barisan yang lain. Derap langkah kaki mereka menerbangkan pasir jalanan yang mereka lalui, sampai akhirnya mereka masuk ke dalam Masjidil Haram.
Umar berkata, “Kaum Quraisy melihat saya dan Hamzah, mereka pun merasakan kekuatan yang sebelumnya mereka rasakan, maka pada hari itu Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam memberiku julukan Al-Faruq.”
5.    Menampakkan keislamannya
Umar melaksanakan keislamannya dengan kualitas yang prima, dia memperlihatkan keislamanya dengan suara yang menggelegar hingga menusuk-nusuk telinga kaum musyrikin. Umar berkata, “Demi Allah, di setiap majlis yang dulu aku sering datangi pada saat aku masih kafir, aku menampakkan keislamanku tanpa merasa takut dan khawatir.”
Dia pun dengan sengaja pergi ke rumah Abu Jahal, mengetuk pintu rumahnya. Saat ditanya, “Siapa di luar?” Dia menjawab dengan lantang, “Umar bin Khaththab, sungguh saya telah masuk Islam.” Abu Jahal langsung membanting pintu di hadapan wajahnya. Lalu Umar pergi menemui pemuka Quraisy yang lainnya dan melakukan hal yang sama. Hingga dia bertanya-tanya dalam dirinya, “Ada apa ini, kaum muslimin lain mengalami berbagai gangguan, kenapa saya tidak?”
Hingga dia meminta pada seseorang yang biasa menyebar berita di kalangan Quraisy untuk menyiarkan berita keislamannya. Orang itu bernama Jamil bin Ma’mar Al-Jumahi. Umar mendatanginya dan berkata padanya, “Apakah kamu sudah tahu wahai Jamil, bahwa saya sudah masuk Islam. Saya sudah menjadi pengikut agama Muhammad!”
Jamil tidak menunggu Umar mengulangi ucapannya, langsung bangkit menarik gamisnya dan berdiri di depan pintu Masjidil Haram lalu berteriak sekencang mungkin, “Wahai masyarakat Quraisy, ketahuilah bahwa Umar telah menyimpang!” Umar berkata di belakangnya, “Bohong, yang benar adalah aku telah masuk Islam dan aku telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Orang-orang Quraisy yang berada di sana langsung menyerang Umar. Mereka pun terlibat perkelahian sampai tengah hari dan Umar merasa kelelahan. Umar lalu duduk seraya berkata, “Silahkan lakukan apa saja yang ingin kalian lakukan! Saya bersumpah dengan nama Allah, jika kami ada berjumlah 300 orang, maka kami akan meninggalkan tanah ini untuk kalian atau kalian yang meninggalkan tanah ini untuk kami.”
Abdullah bin Mas’ud menggambarkan besarnya peran keislaman Umar dalam mendukung Islam dan kaum muslimin, “Islamnya Umar menjadi pembuka jalan, hijrahnya menjadi penolong, kepemimpinannya menjadi rahmat. Saya sempat mengalami bahwa kami kaum muslimin tidak bisa shalat di Baitullah, hingga Umar masuk Islam. Ketika Umar masuk Islam, dialah yang menghadapi kaum musyrikin Quraisy hingga akhirnya kami dibiarkan shalat di sana.”
Bersambung Insya Allah . . .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar