Biografi
sahabat Nabi Abu Bakar Assidik
A.
ASAL-USUL DAN GAMBARAN FISIK ABU BAKAR SERTA KEISLAMANNYA
1.
Nama, garis keturunan, julukan, dan kelahiran Abu BakarNama
lengkapnya adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka’ab
bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib
al-Qurasyi at-Taimi, yang lebih dikenal dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq
bin Abu Quhafah.
Dia
dijuluki Atiq karena
wajahnya yang tampan dan nasabnya yang baik. Abu Bakar memang berasal
dari garis keturunan yang bersih dari cela.
Pada
suatu kesempatan Rasulullah Shallallahu
Alahi wa Sallam sedang
duduk bersama beberapa shahabat, tiba-tiba datang Abu Bakar. Maka
Nabi Shallallahu
Alahi wa Sallam bersabda,
“Siapa yang suka melihat ‘Atiq (orang yang terbebas) dari api
neraka, silakan melihat Abu Bakar”. Maka julukan itupun menempel
pada diri Abu Bakar dan dia terkenal dengan sebutan itu.
2.
Sifat dan gambaran fisik Abu BakarAbu
Bakar dilahirkan dua tahun enam bulan setelah peristiwa penyerangan
Ka’bah oleh tentara gajah. Beliau berkulit putih, berperawakan
kurus, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggang sehingga kainnya selalu
turun dari pinggangnya, wajahnya tirus, matanya cekung, berkening
lebar, dan selalu mewarnai jenggotnya dengan inai maupun katam
(sejenis tumbuhan yang digunakan untuk menghitamkan rambut).
3.
Orang tua Abu Bakar dan keislaman merekaAbu
Bakar tumbuh di bawah naungan ayahnya Abu Quhafah yang masuk Islam
pada peristiwa Fathu Makkah dan ibunya Ummul Khair, Salma binti Sakhr
bin Amir, sepupu Abu Quhafah, yang juga masuk Islam dan menjadi salah
satu shahabat RasulullahShallallahu
Alahi wa Sallam bersama
sang putra.
4.
Karakter Abu Bakar dan Kedudukannya di kalangan bangsa QuraisyMasa
mudah Abu Bakar tidak ternodai oleh keburukan dan perilaku negatif
kaum Jahiliyah, karena dia memegang teguh sifat-sifat luhur bangsa
Arab. Abu Bakar dikenal sebagai pribadi yang berakhlak mulia, sosok
yang menyenangkan, mudah membantu sesama, jujur dalam setiap
perkataannya, baik pergaulannya, bahkan mengharamkan atas dirinya
khamar sejak masa jahiliyah.
Dia
sangat mengerti garis keturunan bangsa Arab, terutama garis keturunan
Quraisy, termasuk cerita-cerita mereka, yang baik maupun yang buruk,
dan menguasai ilmu ta’wil mimpi. Lebih dari itu dia juga merupakan
seorang pedagang berpengalaman dan terlatih. Semua itu membuat Abu
Bakar disukai dan sangat dipercaya oleh kaumnya serta menempati
posisi yang terhormat. Maka tidak heran jika kemudian Abu Bakar
menjelma sebagai salah satu pemuka kaumnya pada masa jahiliyah dan
menjadi salah satu elemen penting dalam permusyawaratan mereka.
Bahkan dia merupakan satu dari sepuluh tokoh Quraisy yang berlanjut
kemuliaannya sejak masa jahiliyah hingga masa islam. Disamping itu,
Abu Bakar pun dipercaya sebagai kordinator dalam urusandiyat, jika
dia telah memutuskan sesuatu dalam urusan itu, yang lain akan ikut
dan segera menyetujuinya.
5.
Keislaman Abu BakarTelah
menjadi kebiasaan bagi Abu Bakar untuk duduk berlama-lama bersama
tiga orang shalih yang merupakan penganut Hanafiyah (ajaran agama
yang lurus sebagaimana diwariskan oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam),
yaitu Qus bin Sa’idah Al-Iyadi, Zaid bin Amr bin Nufail, dan
Waraqah bin Naufal. Dia amat suka menyimak kata-kata mereka dan
mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Namun,
ketiga sosok tersebut hanya membatasi keyakinan tersebut untuk diri
mereka sendiri. Mereka tidak melakukan dakwah secara terorganisir dan
tidak membawa suatu agama yang mengecam penyelewengan akidah kaum
Quraisy dan kebiasaan buruk mereka. Ketika ketiganya semakin tua,
sehingga bisa saja dalam waktu dekat mereka akan menemui ajalnya, Abu
Bakar berpikir untuk mencari sosok lain yang dianggap bisa
menggantikan posisi mereka.
Lantas
terpikir olehnya sosok Muhammad bin Abdullah Shallallahu
Alahi wa Sallam. Sosok yang masih mudah, memiliki
asal-usul dan garis keturunan yang baik, kedudukannya di
tengah-tengah kaumnya laksana mutiara yang berkilauan. Saat itu
Muhammad Shallallahu
Alahi wa Sallam dikenal sebagai sosok yang menolak
menyembah berhala. Hari-harinya tidak ternodai oleh sifat-sifat
negatif kehidupan jahiliyah. Bahkan belakangan dia lebih banyak
menyendiri di gua Hira untuk melakukan perenungan tentang kehidupan.
Sehingga dia sampai pada keyakinan adanya Sang Pencipta yang harus
diagungkan dengan tanpa mengagungkan selainnya. Memang dia tidak
menghina berhala-berhala yang menjadi sesembahan kaumnya, tapi dia
pun tidak pernah memujinya apalagi bersujud padanya seperti yang
biasa dilakukan oleh kaumnya. Dia telah memisahkan diri dari kaumnya
untuk mencari kebenaran yang haqiqi.
Dapat
dikatakan bahwa Abu Bakar merupakan teman sebaya Muhammad Shallallahu
Alahi wa Sallam karena usia mereka tidak terpaut
jauh. Abu Bakar melihat ada yang berbeda pada sosok yang satu ini.
Menurutnya, Muhammad Shallallahu
Alahi wa Sallam pantas menjadi panutan dan layak
dianggap sebagai teladan yang terpercaya. Abu Bakar mencoba
menghidupkan kembali memorinya untuk mengingat-ingat berbagai
kejadian penting yang senantiasa menjadi buah bibir di kalangan
kaumnya di seantero Mekah. Ingatannya mulai tertuju pada suatu
peristiwa luar biasa yang terjadi beberapa tahun lalu, tepatnya
ketika kaum Quraisy menyelesaikan proyek renovasi Ka’bah. Waktu
itu, setiap orang bersikeras mendapatkan kehormatan untuk
mengembalikan Hajar Aswad ke posisi semula.
Terjadilah
keributan diantara mereka, hingga hampir menyulut terjadinya perang
seperti perang Fijar (sebuah
peperangan hebat yang melibatkan suku Quraisy). Pada saat pertikaian
semakin sengit, salah seorang dari mereka mengusulkan untuk
menyerahkan keputusan persoalan tersebut pada seorang yang paling
pertama mendatangi tempat itu. Saat itu yang pertama datang adalah
Muhammad Shallallahu
Alahi wa Sallam. Lantas secara bersamaan mereka berteriak,
“Ini dia Al-Amin (sang terpercaya) Muhammad…. dialah hakim
terbaik!”
Lantas
Abu Bakar menyoroti berhala-berhala sesembahan kaum jahiliyah dan
keanekaragaman peribadatan mereka. Ada yang menyembah berhala, ada
juga yang menyembah matahari, bintang-bintang, malaikat, jin, bahkan
ada juga diantara mereka yang atheis.
Ajaran
Hanafiyah pun tenggelam di balik gelombang kesyirikan, membuat Abu
Bakar bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa tidak datang seseorang
yang dapat menyelesaikan pertikaian kaum Quraisy dan menyelamatkan
mereka dari pertumpahan darah!”
Abu
Bakar pun berusaha mencari tahu lebih banyak tentang sosok “Al-Amin”
yang tak lain merupakan teman dan sahabatnya sendiri. Untuk itu dia
sengaja ikut dengannya dalam perniagaan ke negeri Syam, Sehingga dia
pun sempat mendengar ucapan Rahib Buhaira tentang adanya tanda-tanda
kenabian pada diri shahabatnya tersebut. Abu Bakar pun semakin
mengagumi sosok Muhammad Shallallahu
Alahi wa Sallam. Dia melihat pada diri shahabatnya itu
potesi sebagai penyelamat dan pemberi solusi atas problem keyakinan
yang dihadapi kaumnya.
Ditambah
lagi dengan adanya kejadian yang dialaminya pada saat berniaga ke
Yaman beberapa saat sebelum Muhammad Shallallahu
Alahi wa Sallam diangkat oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala sebagi Nabi. Abu Bakar menuturkan, “Waktu
itu saya singgah ditempat seorang Syaikh yang alim dari Azd. Dia
telah membaca banyak kitab, menguasai banyak ilmu. Pada saat
melihatku dia berkata, Aku memperoleh informasi yang akurat bahwa
seorang nabi akan diutus ditanah haram (Mekah). Dia akan ditolong
oleh seorang pemuda dan satu orang dewasa. Yang muda merupakan sosok
yang suka menantang bahaya dan menolak berbagai bentuk kesengsaraan,
sedangkan yang dewasa berkulit putih, berperawakan kurus, memiliki
lalat diperutnya, dan memiliki di paha sebelah kiri.”
Lantas
dia memintaku untuk menyingkap bagian perutku agar dia dapat
melihatnya. Saya pun melakukan apa yang diminta, hingga dia melihat
adanya tahi lalat hitan diatas pusarku. Dia pun berseru, “Kamulah
orangnya, demi tuhan Ka’bah! saya ingin memberitahukan sesuatu
kepadamu, camkanlah!”
“Apa
itu?” tanya Abu Bakar. “Janganlah engkau condong pada hawa nafsu,
berpegang tegulah pada jalan yang utama dan pertengahan, dan takutlah
pada Allah dalam segala sesuatu yang telah dianuhgerahkan-Nya
padamu”.
Sekembalinya
Abu Bakar ke Makah, dia menanti saat diutusnya sang Nabi yang
ditunggu-tunggu. Maka begitu dia memperoleh informasi bahwa sahabat
karibnya Muhammad Shallallahu
Alahi wa Sallam memperoleh wahyu dan diberi amanah
untuk mengemban risalah dari langit, dia pun bergegas menemuinya dan
bertanya, “Wahai Muhammad, benarkah apa yang diberitakan oleh
masyarakat Quraisy bahwa engkau telah meninggalkan tuhan-tuhan kami,
merendahkan akal kami, dan mengkafirkan para orang tua kami?”
Rasulullah Shallallahu
Alahi wa Sallam menjawab, “Benar.
Sesungguhnya saya adalah utusan Allah dan Nabi-Nya. Dia mengutusku
untuk menyampaikan risalah-Nya. Saya pun sungguh-sungguh mengajak
engkau ke jalan Allah. Demi Allah, ini adalah kebenaran yang hakiki.
Saya mengajakmu wahai Abu Bakar untuk menyembah Allah semata yang
tidak ada sekutu baginya. Maka janganlah engkau sembah sesuatu pun
selain Allah. Saya pun mengajakmu untuk berjanji untuk senantiasa
taat kepada-Nya.”Lalu Rasulullah Shallallahu
Alahi wa Sallam membacakan beberapa ayat Al-Qur’an.
Tanpa pikir panjang, Abu Bakar langsung menerima ajakan masuk Islam
dan segera menyatakan penolokannya terhadap penyembahan berhala. Dia
segera menanggalkan segala bentuk kemusyrikan dan menegaskan
kebenaran Islam. Dia pun pulang dalam kondisi telah menjadi seorang
muslim yang membenarkan kenabian Muhammad Shallallahu
Alahi wa Sallam .
Abu
Bakar terhitung orang yang pertama kali masuk Islam. Dia sangat yakin
akan benarnya kenabian Muhammad Shallallahu
Alahi wa Sallam dan dakwahnya. Dalam hal ini
Rasulullah Shallallahu
Alahi wa Sallam menyatakan, “Setiap
saya mengajak seorang masuk Islam, selalu terbesit tanya dan keraguan
dalam benaknya. Berbeda dengan Abu Bakar, dia tidak terpikir panjang
untuk memenuhi ajakanku dan dia tidak ragu sedikitpun.”
6.
Terkenal dengan julukan “Ash-Shiddiq”Setiap
kali Rasulullah Shallallahu
Alahi wa Sallam mengabarkan
sesuatu, Abu Bakar selalu menjadi orang yang paling pertama
membenarkan dan mengimaninya. Karena dia begitu yakin bahwa
Rasulullah Shallallahu
Alahi wa Sallam tidak
berbicara berdasarkan hawa nafsunya. Kondisi demikian membuat dia
dijuluki Ash-Shiddiq (orang yang selalu membenarkan). Dia semakin
terkenal dengan julukan itu setelah kejadian Isra’-Mi’raj. Waktu
itu sekelompok orang musyrik mendatanginya dan mempertanyakan,”Apa
pendapatmu tentang cerita temanmu itu? Dia mengaku telah
diperjalankan tadi malam ke Baitul Maqdis!” Abu Bakar balik
bertanya, “Dia mengatakan itu?” Mereka serempak mengiyakan. Abu
Bakar berkata, “Kalau begitu dia benar! Seandainya dia mengatakan
hal yang lebih dari itu tentang kabar dari langit, saya pasti akan
membenarkannya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang.”
karena
itulah Abu Bakar dijuluki Ash-Shiddiq.
Baru
saja bibir Rasulullah Shallallahu
Alahi wa Sallam selesai mengucapkan sesuatu, Abu
Bakar langsung berkata, “Dia benar.” Orang lain boleh saja
mencari tahu dulu, berpikir beberapa saat, atau bahkan meragukan.
Tapi tidak demikian dengan Abu Bakar. Semboyannya sejak pertama kali
menyatakan keislaman adalah, “Jika NabiShallallahu
Alahi wa Sallam berkata, maka dia benar.”
Rasulullah Shallallahu
Alahi wa Sallam pun pernah menyiarkan julukan
tersebut ditengah-tengah khalayak ramai, yaitu pada saat beliau
menaiki gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar, dan Utsman, waktu itu
gunung Uhud bergetar. Maka Rasulullah Shallallahu
Alahi wa Sallam berkata, “Tenanglah wahai Uhud,
diatasmu hanyalah seorang Nabi, seorang Shiddiq, dan dua orang
syahid.”
Bersambung
Insya Allah . . .
A.
ASAL-USUL DAN GAMBARAN FISIK UMAR SERTA KEISLAMANNYA
1.
Nama, nasab, dan kelahiran Umar
Di serambi Mekah, dengan cuaca yang panas, anginnya yang menderu-deru, padang sahara yang luas, tiga belas tahun setelah peristiwa gajah, lahirlah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurzhu bin Razah bin Adi Al-Qurasyi.
Ayahnya Khaththab bin Nufail Al-Adawi adalah orang yang berwatak keras dan memiliki tabiat yang kuat. Sedang Ibunya bernamah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, sepupu dari Abu Jahal.
Umar tumbuh di bawah asuhan ayahnya sehingga dia mewarisi watak keras sang ayah yang tak kenal rasa takut, keras hati, tidak setengah-setengah dalam melakukan sesuatu.
Di serambi Mekah, dengan cuaca yang panas, anginnya yang menderu-deru, padang sahara yang luas, tiga belas tahun setelah peristiwa gajah, lahirlah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurzhu bin Razah bin Adi Al-Qurasyi.
Ayahnya Khaththab bin Nufail Al-Adawi adalah orang yang berwatak keras dan memiliki tabiat yang kuat. Sedang Ibunya bernamah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, sepupu dari Abu Jahal.
Umar tumbuh di bawah asuhan ayahnya sehingga dia mewarisi watak keras sang ayah yang tak kenal rasa takut, keras hati, tidak setengah-setengah dalam melakukan sesuatu.
2.
Gambaran fisik dan sifat Umar serta kedudukannya dikalangan
Quraisy
Umar adalah laki-laki berkulit coklat, kedua tangannya aktif sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan keduanya, memiliki sosok yang kuat, ukuran tubuh yang tinggi besar. Tinggi badannya jauh di atas rata-rata. Jika dia berada di kerumunan nampak seolah dia sedang menunggangi sesuatu yang lain berjalan kaki, Umar berkumis lebat, jalannya cepat, suaranya besar, dan pukulannya amatlah keras.
Kekuatan fisik dan kesatriannya amatlah prima, sampai-sampai dia sanggup naik ke atas kuda hanya dengan berpegang pada telinga kuda.
Umar adalah laki-laki berkulit coklat, kedua tangannya aktif sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan keduanya, memiliki sosok yang kuat, ukuran tubuh yang tinggi besar. Tinggi badannya jauh di atas rata-rata. Jika dia berada di kerumunan nampak seolah dia sedang menunggangi sesuatu yang lain berjalan kaki, Umar berkumis lebat, jalannya cepat, suaranya besar, dan pukulannya amatlah keras.
Kekuatan fisik dan kesatriannya amatlah prima, sampai-sampai dia sanggup naik ke atas kuda hanya dengan berpegang pada telinga kuda.
Umar
merupakan salah satu orang terpandang dan pemuka kaum Quraisy. Dia
sering dipercaya sebagai juru damai apabila terjadi peperangan antar
sesama kaum Quraisy atau antara suku Quraisy dengan yang lain. Telah
menjadi kebiasaan bangsa Arab, pada saat hendak berdamai
masing-masing pihak yang bertikai mengutus seseorang sebagai juru
damai. Masing-masing juru damai akan membanggakan pihaknya sampai
akhirnya tercapai kesepakatan damai. Kaum Quraisy sangat menaruh
kepercayaan pada Umar bin Khaththab untuk mewakili mereka sebagai
juru damai.
Di samping itu, Umar memiliki jiwa yang bersih secerah langit Mekah, hati yang tulus tidak berbelok-belok laksana padang pasir yang luas, keteguhan hati yang kokoh laksana gunung, dan sifat yang mulia seterang bintang di langit.
Di samping itu, Umar memiliki jiwa yang bersih secerah langit Mekah, hati yang tulus tidak berbelok-belok laksana padang pasir yang luas, keteguhan hati yang kokoh laksana gunung, dan sifat yang mulia seterang bintang di langit.
3.
Keislaman Umar
Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam mulai berdakwah mengajak semua orang yang beriman hanya kepada Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala, Umar memposisikan dirinya sebagai penentang dakwah Rasulullah tersebut.
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menyimpan harapan agar suatu saat Umar masuk Islam, melihat kekuatannya yang luar biasa dan kelebihannya dibandingkan orang-orang sebayanya. Maka Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Ya Allah perkuatlah Islam dengan salah satu dari orang yang lebih Engkau sukai: Umar bin Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam.” Dan ternyata yang lebih disukai oleh Allah dari mereka berdua adalah Umar bin Khaththab.
Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam mulai berdakwah mengajak semua orang yang beriman hanya kepada Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala, Umar memposisikan dirinya sebagai penentang dakwah Rasulullah tersebut.
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menyimpan harapan agar suatu saat Umar masuk Islam, melihat kekuatannya yang luar biasa dan kelebihannya dibandingkan orang-orang sebayanya. Maka Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Ya Allah perkuatlah Islam dengan salah satu dari orang yang lebih Engkau sukai: Umar bin Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam.” Dan ternyata yang lebih disukai oleh Allah dari mereka berdua adalah Umar bin Khaththab.
Dakwah
pun semakin meningkat dan semakin meluas hinggah merubah pandangan
Umar. Berikut ini adalah penuturan Umar sendiri bagaimana awal mula
masuknya sinar Al-Qur’an ke dalam hatinya yang sebelumnya tertutup
sangat rapat,
“Waktu itu saya keluar untuk merintangi Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Ternyata beliau telah mendahuluiku berjalan ke arah masjid. Saya pun membuntutinya. Lantas beliau membaca surat Al-Haqqah, membuatku takjub akan keindahan Al-Qur’an. Maka saya mengatakan, “Dia benar-benar penyair sebagaimana disebut-sebut kaum Quraisy.” Maka beliau membaca, “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) itu benar-benar wahyu (yang turun kepada) Rasal yang mulia, Dan ia (Al-Qur’an) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”(QS. Al-Haqqah [69]: 40-41). Lalu saya berkata, “Dia adalah seorang penyihir.” Beliau membaca, “Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. Ia (Al-Qur’an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam. Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya).”(QS. Al-Haqqah [69]: 42-47). Sampai akhir surat, Al-Qur’an pun mulai ,merasuki hatiku.”
“Waktu itu saya keluar untuk merintangi Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Ternyata beliau telah mendahuluiku berjalan ke arah masjid. Saya pun membuntutinya. Lantas beliau membaca surat Al-Haqqah, membuatku takjub akan keindahan Al-Qur’an. Maka saya mengatakan, “Dia benar-benar penyair sebagaimana disebut-sebut kaum Quraisy.” Maka beliau membaca, “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) itu benar-benar wahyu (yang turun kepada) Rasal yang mulia, Dan ia (Al-Qur’an) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”(QS. Al-Haqqah [69]: 40-41). Lalu saya berkata, “Dia adalah seorang penyihir.” Beliau membaca, “Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. Ia (Al-Qur’an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam. Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya).”(QS. Al-Haqqah [69]: 42-47). Sampai akhir surat, Al-Qur’an pun mulai ,merasuki hatiku.”
Kemudian
pada suatu hari Umar berpapasan dengan Ummu Abdullah binti Akhi
Hatsmah yang sedang bersiap untuk hijrah ke negeri Habasyah. Umar
bertanya padanya, “Apakah ini persiapan untuk berangkat wahai Ummu
Abdullah?” Jawab Ummu Abdullah, “Ya. Demi Allah kami harus keluar
dari negeri ini. Kalian telah menyakiti dan berbuat kasar terhadap
kami, hingga Allah memberikan jalan keluar bagi kami.” Umar
berkata, “Semoga Allah menyertai kalian.”
Peristiwa
inilah yang menjadi peringatan kedua di dalam hari Umar. Hampir saja
cahayanya meredup dan pengaruhnya melemah, namun dia bagaikan sumbu
yang apinya dinyalakan oleh seorang perempuan yang amat marah, yang
tak lain saudari sepersusuan Umar yang tumbuh besar bersama di
lingkungan yang sama.
Selanjutnya
pada suatu hari yang amat panas, Umar keluar dari rumahnya bergegas
menuju rumah shahabat Al-Arqam, tempat Rasulullah biasanya berkumpul
dengan para shahabatnya. Hari itu Umar berniat akan membunuh
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Di tengah perjalanan dia
berpapasan dengan Nu’aim bin Abdullah An-Nahham yang waktu itu
telah masuk Islam namun menyembunyikan keislamannya karena khawatir
akan diusir oleh kaumnya. Nu’aim lalu bertanya padanya, “Hendak
kemanakah engkau wahai Umar?”
Umar
menjawab, “saya mau menemui Muhammad, orang yang telah meninggalkan
agamanya, mencerai-berai urusan kaum Quraisy, membuyarkan impian
mereka, menghina agama mereka, dan mencaci tuhan-tuhan mereka. Saya
akan membunuhnya.”
Nu’aim
berkata padanya, “Engkau telah memperdaya dirimu sendiri wahai
Umar. Apakah menurutmu Bani Abdi Manaf akan membiarkanmu hidup jika
engkau membunuh Muhammad?”
Umar
berkata, “Menurutku engkau telah berpaling dan telah meninggalkan
agama lamamu!”
Nu’aim
balas mengatakan, “Kenapa engkau tidak kembali saja ke keluargamu
untuk menyelesaikan urusan mereka?”
Umar
bertanya, “Siapakah keluargaku yang engkau maksud?”
Nu’aim
menjawab, “Saudara iparmu yang juga sepupumu Sa’id bin Zaid bin
Amr, dan saudarimu Fatimah binti Khaththab. Demi Allah, mereka telah
masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad. Kenapa engkau tidak
mengurus mereka saja!”
Umar
pun langsung berbalik dan bergegas pergi ke rumah saudarinya Fatimah
dan suaminya. Saat itu, keduanya sedang kedatangan Khabbad bin Art
yang membawakan lembaran yang bertuliskan surat Thaha untuk dibacakan
pada keduanya. Ketika mereka mendengar gerakan Umar, Khabbad langsung
bersembunyi di kamar, sedangkan Fathimah langsung mengambil lembaran
berisi surat Thaha dan menyembunyikannya di bawah pahanya. Sementara
itu Umar sempat mendengar gumaman khabbad saat dia mendekati rumah
mereka.
Ketika
Umar menerobos masuk, dia langsung bertanya, “Surat apa yang baru
saja saya dengar?”
Keduanya
menjawab serempak, “Engkau tidak mendengar apa-apa.”
Umar
menukas, “Tidak, demi Allah, aku mendengar kabar bahwa kalian
berdua telah mengikuti agama Muhammad.” Tanpa pikir panjang Umar
langsung menyergap saudara iparnya, Sa’id bin Zaid. Melihat itu
Fatimah langsung bangun dan bergerak ke arah Umar berusaha melepaskan
suaminya dari sergapan Umar. Tapi Umar langsung memukulnya hingga
melukainya.
Mendapat
perlakuan kasar dari Umar, keduanya lalu berkata, “Ya, kami telah
masuk Islam dan telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Lakukanlah
apa yang ingin kau lakukan!”
Saat
itulah, ucapan saudari dan iparnya itu menghujam ke dalam hati Umar
saat dia sedang berada di puncak kemarahannya. Terkoyaklah penutup
hatinya dan sikapnya langsung berubah menjadi lemah lembut. Dia pun
melepaskan Sa’id bin Zaid dan menyesali tindakannya. Dia lalu
memohon pada saudarinya, “Berikan padaku lembaran yang baru saja
kalian baca itu agar aku dapat melihat apa yang dibawa oleh Muhammad.
Mendengar
itu, fatimah segera menjawab, “Kami khawatir engkau akan
merusaknya.”
Umar
berkata, “Jangan takut.” Dia pun bersumapah dengan nama
tuhan-tuhannya bahwa dia akan mengembalikan lembaran tersebut jika
diizinkan untuk membaca isinya.”
Pada
detik itu muncul harapan pada diri Fatimah terhadap keislamannya
Umar. Dia pun langsung mengatakan pada Umar, “Wahai Saudaraku,
engkau masih najis karena kemusyrikanmu, sedang lembaran itu hanya
boleh disentuh oleh orang-orang yang suci.”
Umar
pun langsung bangun untuk membasuh dirinya. Setelah itu, barulah
Fatimah menyerahkan lembaran tersebut padanya. Umar langsung
membacanya, “Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu
(Muhammad) agar engkau menjadi susah; melainkan sebagai peringatan
bagi orang yang takut (kepada Allah), diturunkan dari (Allah) yang
menciptakan bumi dan langit yang tinggi, (yaitu) Yang Maha Pengasih,
yang bersemayam di atas ‘Arsy. Milik-Nyalah apa yang ada di langit,
apa yang ada di bumi, apa yang ada di antara keduanya, dan apa yang
ada di bawah tanah. Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh,
Dia mengetahui rahasia yang telah tersembunyi. (Dialah) Allah, tidak
ada tuhan selain Dia, yang mempunyai nama-nama yang baik.”(QS.
Thaha [20]: 1-8). Dia membacanya dengan hati berdebar dan tubuh
gemetar, dengan penuh kekhusyukan dan perlahan. Hingga dia sampai
pada ayat, “Sungguh, aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku,
maka sembahlah Aku dan laksanakan shalat untuk mengingat-Ku.” (QS.
Thaha [20]: 14). Baru saja dia selesai membaca ayat tersebut, dia
langsung berujar, “Alangkah indah dan mulianya ungkapan ini!
Tunjukkan aku di mana Muhammad.”
Mendengar
itu, Khabbad langsung keluar dari persembunyiannya. Dia langsung
berkata pada Umar, “Wahai Umar, demi Allah, sesungguhnya aku
berharap Allah mengkhususkan engkau dengan doa Nabi-Nya. Sungguh saya
kemarin mendengar Rasulullah berkata. “Ya Allah, perkuatlah Islam
dengan Abu Al-Hikam bin Hisyam atau dengan Umar bin Khaththab.”
Allah pasti mengabulkan doanya wahai Umar.
Umar
pun berkata padanya, “Kalau begitu, tunjukkan padaku dimana
Muhammad wahai Khabbad agar aku bisa menemuinya dan mnyetakan
keislamanku,”
Khabbad
menjawab, “Beliau di sebuah rumah di Shafah bersama beberapa
shahabatnya.”
Umar
memungut pedangnya dan menyandangnya. Lalu dia bergegas menemui
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan para shahabatnya.
Sesampainya disana Umar langsung menggedor pintu rumah. Mendengar
itu, salah seorang shahabat Rasulullah segera bangun dan mengintip
dari pintu. Nampaklah olehnya Umar sedang menyandang pedangnya. Dia
segera menemui Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam melapor sambil
ketakutan, “Wahai Rasulullah yang datang adalah Umar bin Khaththab
sambil menyandang pedang!”
Hamzah
bin Abdul Mutthalib berkata, “Izinkanlah dia masuk. Jika dia datang
menginginkan kebaikan, akan kita berikan padanya kebaikan itu. Jika
dia datang menginginkan keburukan, akan kita bunuh dia dengan
pedangnya itu.”
Rasulullah
Shallallahu Alahi wa Sallam pun berkata, “Izinkan dia masuk.”
Salah seorang dari mereka membukakan pintu dan mempersilahkan Umar
masuk. Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam lalu bangkit untuk
menemuinya di sebuah ruangan. Beliau langsung menarik baju Umar
dengan kuat dan berkata, “Apa yang membuatmu datang kesini wahai
Ibnu Khaththab? Demi Allah, menurutku engkau tidak akan berhenti
sampai Allah menurunkan bencana atasmu!!”
Umar
segera menjawab, “Wahai Rasulullah, aku datang padamu untuk
menyatakan keimananku pada Allah dan rasul-Nya serta pada apa yang
dibawanya dari sisi Allah.”
Serta
merta Rasulullah meneriakkan takbir. Mendengar itu seisi rumah pun
tahu bahwa Umar telah masuk Islam.
Akhirnya
Umar bergabung bersama 40 orang yang telah lebih dahulu beriman pada
Allah dan Rasul-Nya. Peristiwa itu terjadi pada tahun keenam
kenabian.
4.
Mendapat julukan Al-Faruq
Di hari saat Umar bin Khaththab menyatakan keislamannya, dia berdiri di hadapan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di jalan yang benar apabila kita mati ataupun hidup?”
Di hari saat Umar bin Khaththab menyatakan keislamannya, dia berdiri di hadapan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di jalan yang benar apabila kita mati ataupun hidup?”
Rasulullah
Shallallahu Alahi wa Sallam menjawab, “ Benar, demi Dzat Yang
jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya kalian berada pada
jalan yang benar apabila kalian mati ataupun hidup.”
Umar
lalu berkata, “Kalau begitu kenapa kita harus bersembunyi? Demi
Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran Islam, kita harus
keluar!”
Maka
kami pun keluar dalam dua barisan. Hamzah berada dalam satu barisan,
sementara Umar dalam barisan yang lain. Derap langkah kaki mereka
menerbangkan pasir jalanan yang mereka lalui, sampai akhirnya mereka
masuk ke dalam Masjidil Haram.
Umar
berkata, “Kaum Quraisy melihat saya dan Hamzah, mereka pun
merasakan kekuatan yang sebelumnya mereka rasakan, maka pada hari itu
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam memberiku julukan Al-Faruq.”
5.
Menampakkan keislamannya
Umar melaksanakan keislamannya dengan kualitas yang prima, dia memperlihatkan keislamanya dengan suara yang menggelegar hingga menusuk-nusuk telinga kaum musyrikin. Umar berkata, “Demi Allah, di setiap majlis yang dulu aku sering datangi pada saat aku masih kafir, aku menampakkan keislamanku tanpa merasa takut dan khawatir.”
Umar melaksanakan keislamannya dengan kualitas yang prima, dia memperlihatkan keislamanya dengan suara yang menggelegar hingga menusuk-nusuk telinga kaum musyrikin. Umar berkata, “Demi Allah, di setiap majlis yang dulu aku sering datangi pada saat aku masih kafir, aku menampakkan keislamanku tanpa merasa takut dan khawatir.”
Dia
pun dengan sengaja pergi ke rumah Abu Jahal, mengetuk pintu rumahnya.
Saat ditanya, “Siapa di luar?” Dia menjawab dengan lantang, “Umar
bin Khaththab, sungguh saya telah masuk Islam.” Abu Jahal langsung
membanting pintu di hadapan wajahnya. Lalu Umar pergi menemui pemuka
Quraisy yang lainnya dan melakukan hal yang sama. Hingga dia
bertanya-tanya dalam dirinya, “Ada apa ini, kaum muslimin lain
mengalami berbagai gangguan, kenapa saya tidak?”
Hingga
dia meminta pada seseorang yang biasa menyebar berita di kalangan
Quraisy untuk menyiarkan berita keislamannya. Orang itu bernama Jamil
bin Ma’mar Al-Jumahi. Umar mendatanginya dan berkata padanya,
“Apakah kamu sudah tahu wahai Jamil, bahwa saya sudah masuk Islam.
Saya sudah menjadi pengikut agama Muhammad!”
Jamil tidak menunggu Umar mengulangi ucapannya, langsung bangkit menarik gamisnya dan berdiri di depan pintu Masjidil Haram lalu berteriak sekencang mungkin, “Wahai masyarakat Quraisy, ketahuilah bahwa Umar telah menyimpang!” Umar berkata di belakangnya, “Bohong, yang benar adalah aku telah masuk Islam dan aku telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Jamil tidak menunggu Umar mengulangi ucapannya, langsung bangkit menarik gamisnya dan berdiri di depan pintu Masjidil Haram lalu berteriak sekencang mungkin, “Wahai masyarakat Quraisy, ketahuilah bahwa Umar telah menyimpang!” Umar berkata di belakangnya, “Bohong, yang benar adalah aku telah masuk Islam dan aku telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Orang-orang
Quraisy yang berada di sana langsung menyerang Umar. Mereka pun
terlibat perkelahian sampai tengah hari dan Umar merasa kelelahan.
Umar lalu duduk seraya berkata, “Silahkan lakukan apa saja yang
ingin kalian lakukan! Saya bersumpah dengan nama Allah, jika kami ada
berjumlah 300 orang, maka kami akan meninggalkan tanah ini untuk
kalian atau kalian yang meninggalkan tanah ini untuk kami.”
Abdullah
bin Mas’ud menggambarkan besarnya peran keislaman Umar dalam
mendukung Islam dan kaum muslimin, “Islamnya Umar menjadi pembuka
jalan, hijrahnya menjadi penolong, kepemimpinannya menjadi rahmat.
Saya sempat mengalami bahwa kami kaum muslimin tidak bisa shalat di
Baitullah, hingga Umar masuk Islam. Ketika Umar masuk Islam, dialah
yang menghadapi kaum musyrikin Quraisy hingga akhirnya kami dibiarkan
shalat di sana.”
Bersambung
Insya Allah . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar